Postingan Populer

Latest Posts

Rabu, 08 Juli 2015

HUKUM BERHUBUNGAN SUAMI ISTRI SAAT HAID

Tidak ada komentar:
Ulama Fiqih sepakat bahwa Hukum berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing 1 dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid, atau 1/5 dinar jika dilakukan di pertengahan-akhir haid.

Pendapat diatas didukung oleh ulama dari madzhab Hanafi. Hanya saja, madzhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami saja, dan tidak pada istri. Karena larangan itu ditujukan pada suami saja.

Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadits berikut:

إذا وقع الرجل أهله وهى حائض إن كان دما أحمر فدينار وان كان اصفر فنصف دينار

“Seorang laki-laki menjima’ istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda 1 dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, maka dendanya 1/5 dinar.” (HR. Tirmidzi)

Sedangkan ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar, tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan atau di akhir masa haid.

Apakah Dengan Membayar Denda, Lalu Dosa Terhapus?

Belum tentu. Berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertaubat pada Allah, maka dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.

Yang harus dilakukan oleh keduanya tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai taubat yang melibatkan 3 hal:
– meminta ampun pada Allah,
– menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya,
– dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa, dan semoga Allah memberi ampunan bagi orang-orang yang bertaubat. Amin.

Wallahu A’lam Bishshawab.
Continue Reading...

BAGAIMANA HUKUM ORANG PUASA TETAPI TIDAK SHALAT, APAKAH PUASANYA SAH?

Tidak ada komentar:
Dalam kaitanya menjawab hukum puasa tetapi tidak shalat, apakah puasanya sah atau tidak?. Benar sekali apa yang Anda sebutkan, bahwa orang yang mengerjakan puasa dengan memenuhi segala ketentuan, baik syarat atau pun rukunnya, tentu saja ibadahnya sah di sisi Allah SWT. Sebab syarat diterimanya ibadah memang apabila semua ketentuan dan syaratnya sudah terpenuhi. Seperti menahan makan dan minum atau yang membatalkan puasanya.

Adapun orang itu tidak mengerjakan ibadah wajib lainnya, misalnya shalat lima waktu, tentu tidak ada kaitannya dengan diterima atau tidaknya puasa yang dia lakukan. Pokoknya kalau meninggalkan shalat lima waktu, hukumnya dosa besar. Dan dia harus bersiap-siap nanti dibakar di dalam api neraka.

Namun yang penting untuk dicatat bahwa dosa besarnya karena tidak shalat lima waktu itu tidak membatalkan puasa yang dilakukannya. Sebab keduanya tidak saling menghalangi. Meninggalkan shalat tidak menghalangi sahnya puasa, sebagaimana tidak puasa juga tidak menghalangi sahnya shalat.

Kalau pun ada hubungannya, nanti di akhirat saat hitung-hitungan amal baik dan amal buruk. Ada dosa karena meninggalkan shalat dengan sengaja, tapi juga ada pahala karena mengerjakan puasa. Tinggal nanti dihitung, apakah dosanya lebih besar dari pahala yang dimilikinya, atau pahalanya lebih besar dari dosa yang dikerjakan.

Kalau masih ada sisa pahala setelah dipotong dengan dosa-dosa, tentu alhamdulillah. Tapi sebaliknya, kalau ternyata semua pahala habis untuk membayar dosa tapi ternyata dosanya tetap masih bejibun karena terlalu banyak, ya apa boleh buat, terpaksa harus mampir dulu untuk jadi penghuni neraka. Naudzu billah.

Kesimpulannya, meski puasanya sah, tapi kalau meninggalkan shalat tentu hukumnya berdosa besar. Dan hati-hati jangan sampai tekor pahala di hari akhirat nanti.

Untuk masalah hukum meninggalkan shalat itu sendiri di jelaskan pada pembahasan yang lain.

Wallahu a’lam
Continue Reading...

Bagaimana Hukum Berkumur pada Saat Berpuasa?

Tidak ada komentar:
Pertanyaan di atas kelihatan sangat simpel, dalam benak kami mungkin yang dimaksudkan adalah berkumur ketika melakukan wudlu, padahal sedang menjalankan ibadah puasa. Atau bisa jadi termasuk berkumur di luar wudlu.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama salah satu hal yang sebaiknya dilakukan atau dihukumi sunnah ketika menjalankan wudlu adalah berkumur dengan sungguh-sungguh (al-mubalaghah).

Namun berkumur dengan bersungguh-sungguh (al-mubalaghah) tidak disunnahkan bagi orang yang sedang menjalani ibadah puasa. Bersungguh-sungguh maksudnya berkumur terlalu kencang atau terlalu banyak. Hal ini karena adanya kekhawatiran akan membatalkan puasanya.

أَمَّا الصَّائِمُ فَلَا تُسَنُّ لَهُ الْمُبَالَغَةُ بَلْ تُكْرَهُ لِخَوْفِ الْإِفْطَارِ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ

“Adapun orang yang berpuasa maka tidak disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam berkumur karena khawatir membatalkan puasanya sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu`”. (Lihat Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 1, h. 39)

Kesimpulan ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan Abu Basyar ad-Dulabi, yang menurut Ibn al-Qathan dikategorikan sebagai hadits sahih.

إذَا تَوَضَّأْتَ فَأَبْلِغْ فِي الْمَضْمَضَةِ ، وَالِاسْتِنْشَاقِ مَا لَمْ تَكُنْ صَائِمًا

“Ketika kamu berwudlu maka bersungguh-sungguhlah dalam berkumur dan menghirup air ke dalam hidung sepanjang kamu tidak berpuasa” (Lihat, Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Ahadits, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 10)

Lantas apakah yang dimaksudkan dengan ‘bersungguh-sungguh’ atau mubalaghah dalam konteks di atas? Menurut imam Syafii maksud bersungguh-sungguh dalam berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut kemudian menjalankannya di dalam mulut lalu memuntahkannya. Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab.

قَالَ الشَّافِعِيُّ اَلْمُبَالَغَةُ فِي الْمَضْمَضَةِ اَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ بِشَفَتَيْهِ فَيُدِيرُهُ فِي فَمِهِ ثُمَّ يَمُجُّهُ وَفِي الْاِسْتِنْشَاقِ اَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ بِاَنْفِهِ وَيَجْذِبُهُ بِنَفَسِهِ ثُمَّ يُنْثِرُ

“Imam Syafii berkata bahwa besungguh-sungguh dalam berkumur adalah mengambil air (dari tangan, pent) dengan kedua bibir kemudian menjalankannya (memutar-mutar) di dalam mulut lantas memuntahkannya. Sedang bersungguh-sungguh dalam menghirup air ke dalam hidung adalah mengambil air melalui hidung kemudian menghirupnya dengan nafas lantas mengeluarkannya” (Lihat Muhyidin Syarf an-Nawawi, al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 1, h. 355)

Penjelasan di atas lebih terfokus pada berkumur saat wudlu. Lantas bagaimana dengan berkumur selain dalam wudlu pada saat menjalankan ibadah puasa, misalnya untuk keperluan bersikat gigi? Berkumur dalam hal ini boleh namun jangan sampai ada air yang tertelan karena akan membatalkan puasa.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang-orang yang berpuasa sebaiknya menghindari hal-hal yang berpotensi untuk membatalkan puasanya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Continue Reading...

Apakah dibolehkan berjimak dengan istri di bulan Ramadan?

Tidak ada komentar:
Menyetubuhi istri di bulan Ramadan ada dua kondisi, kemungkinan (dilakukan) waktu malam atau waktu siang.

Bersetubuh di malam hari itu mubah, dan malam dimulai dengan terbenam matahari sampai terbit fajar. Dahulu hukum di awal islam Dibolehkan bersetubuh di malam Ramadan selagi belum tidur. Kalau tidur, maka diharamkan bersetubuh. Meskipun bangun sebelum fajar. 

Kemudian Allah memberi keringanan dalam hukum ini dan Dibolehkan bersetubuh di malam Ramadan secara umum. Hal itu ada dalam firman Allah ta’ala:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

As-Sa’di rahimahullah berkata di halaman, 87: “Dahulu diawal kewajiban berpuasa, diharamkan bagi umat Islam makan, minum dan bersetubuh di waktu malam setelah tidur, dan sebagian (umat Islam) terasa berat. Kemudian Allah memberi keringanan dari hal itu. Dan Allah memperbolehkan makan, minum dan bersetubuh pada semua malam. Baik telah tidur maupun belum tidur. Karena mereka tidak mampu menahan nafsu mereka dengan meninggalkan sebagian dari apa yang diperintahkan kepadanya. {‏فتاب‏}‏ Maka Allah menerima taubat mereka. Allah melapangkan bagi kalian suatu urusan –dimana dahulu, jika tidak diberi keluasan- mereka akan terkena dosa (Dan Allah mengampuni dari kamu semua) apa yang telah lalu. (Maka sekarang) setelah mendapatkan keringanan dan keluasan dari Allah {‏باشروهن‏}‏ cumbulah mereka, dengan mencium dan menyentuh atau semisal itu.

{‏وابتغوا ما كتب الله لكم‏} maksudnya saat kalian anda menggauli istri kalian, niatkan karena ingin mendekatkan kepada Allah Ta’ala dan meraih maksud yang paling agung dari bersetubuh, yaitu mendapatkan keturunan, juga menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya serta mendapatkan maksud dari pernikahan.”

Al-Jassas dalam Ahkamul Al-Qur’an’, 1/265 mengatakan, “Maka Dibolehkan bersetubuh, makan dan minum di malam-malam Ramadan, dari permulaan (malam) sampai terbit fajar.”

Diriwayatkan oleh Bukhari, 4508 dari Barra’ radhiallahu’anhu

لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ

"Ketika diturunkan (kewajiban) puasa Ramadan. Dahulu mereka tidak mendekati istri-istrinya sebulan penuh. Sementara para suami tidak dapat menahan nafsunya. Maka Allah turunkan ayat (عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ) “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.”

Al-Hafidz rahimahullah mengatakan, “Perkataan ‘Ketika diturunkan (kewajiban) puasa Ramadan, dahulu mereka tidak mendekati istri-istri mereka’. Yang tampak dari redaksinya (maksudnya adalah bahwa) dahulu bersetubuh dilarang seluruh waktu malam dan siang. Berbeda dengan makan dan minum, dahulu diizinkan makan waktu malam selagi belum tidur. Akan tetapi hadits-hadits lain yang semakna dengan ini, menunjukkan tidak ada perbedaan. Sehingga teks ‘Dahulu mereka tidak mendekati istri-istrinya’ mungkin maksudnya adalah sering. Untuk menggabungkan di antara hadits-hadits yang ada.”

Maksud dari { تَخْتَانُونَ أَنْفُسكُمْ }adalah menggauli istri, makan dan minum di waktu dimana dahulu haram bagi mereka. Disebutkan oleh Ath-Thabari dari Mujahid تَخْتَانُونَ أَنْفُسكُمْ adalah menzalimi dirinya.

Sementara terkait dengan bersetubuh di siang Ramadan, bagi orang yang wajib berpuasa. Para ulama bersepakat (ijmak) akan keharaman dan hal itu dapat merusak puasanya.

Dalam Al-Mughni, 4/372 dikatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di kalangan ulama, bahwa orang yang bersetubuh sampai masuk ke kemaluan, keluar (mani) ataupun tidak. Atau diluar kemaluan kemudian keluar (mani). Hal itu membatalkan puasanya kalau dilakukan secara sengaja. Hadits-hadits yang shahih menunjukkan hal tersebut.”

Bahkan bersetubuh termasuk pembatal yang terbesar, dan diharuskan (membayar) kafarat.

Diriwayatkan oleh Bukhari, 2600 dan Muslim, 1111. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,

قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَجِدُ رَقَبَةً قَالَ لا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لا قَالَ فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لا قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

"Seseorang datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah saya!" Beliau bertanya, “Ada apa dengan anda?" Dia menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri sementara saya dalam kondisi berpuasa (Di bulan Ramadan)," Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallalm bertanya, “Apakah anda dapatkan budak (untuk dimerdekakan)?" Dia menjawab, “Tidak." Beliau bertanya, “Apakah anda mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Dia menjawab, “Tidak." Beliau bertanya, “Apakah anda dapatkan makanan unttuk memberi makan kepada enampuluh orang miskin?" Dia menjawab, “Tidak." Kemudian ada orang Anshar datang dengan membawa tempat besar di dalamnya ada kurmanya. Beliau bersabda, “Pergilah dan bershadaqahlah dengannya." Orang tadi berkata, “Apakah ada yang lebih miskin dari diriku wahai Rasulullah? Demi Allah yang mengutus anda dengan kebenaran, tidak ada yang lebih membutuhkan diantara dua desa dibandingkan dengan keluargaku." Kemudian beliau mengatakan, “Pergilah dan beri makanan keluarga anda.”

http://islamqa.info/id/49750
Continue Reading...